Senin, 24 Desember 2018

Mengenang tsunami aceh 2004

     Dulu sudah kukatakan bahwa inilah cerita terpahit dan cobaan terberat yang pernah kurasakan. Ya, kalau kau belum atau kau lupa, akan ku cerita kan sekali lagi. Dengar, aku tidak akan mengulanginya lagi nanti.
     Ahad itu pukul menunjukkan 7.58 waktu setempat, gempa berkekuatan 9.1 sampai 9.3 skala Richter mengguncang dasar laut barat daya sumatra. Menggoyangkan semua yang ada,tidak luput rumah panggung nenekku. Bangunan yang sudah senja itu miring dengan tiang depan sudah mulai mengatakan aku tidak sanggup lagi menompah.
Aku yang masih kecil saat itu lari dan menangis mencari mamak,
Mak pat droen? ( mak di mana kamu?)
Aku mencarinya masuk dari pintu belakang rumah, ku lihat dapur air panas telah tumpah membasahi kompor dan lantai. Ku lari lagi mencari beliau
Mak, mak, mak....
Aku menangis sejadi-jadinya begitu takut aku akan kejadian yang baru kurasakan.
Tangan kanan itu meraih ku keluar rumah dan kulihat, mak.
Mak lon yoe ( mak, aku takut)
Hana peupeu, jak ta teubit, tajak rumoh dah ( tidak apa-apa, ayo kita keluar, kita pergi rumah dah. Dah; panggilan ku untuk adik mamak)
Aku masih enggan melepaskan tangan itu.
Mak droen bek ji 'oh dari lon, lon yoe that ( mak kamu jangan jauh dariku, aku sangat takut)
Iya, iya
Mamak meyakinkan ku, walaupun aku tau di raut wajahnya juga tersimpan rasa takut itu.
     Sepuluh menit mungkin lebih atas keheningan yang ada.
Tiba-tiba terdengar suara seperti pesawat, huu..huu..hhuu....
Sue peu nyan? ( suara apa itu?)
Sue pesawat, ( suara pesawat, sekali lagi mamak menenangkan ku)
Ku peluk mamak saat itu. Ya, aku saat itu sangat takut akan suara-suata aneh.
Mak sue peu nyan?
Ku ulangi sampai tiga kali karena suara itu semakin dekat.
Sue pesawat, mamak menjawab dengan was-was.
Kupeluk lebih erat lagi mamak saat itu. Jika aku tau itu adalah pelukan terakhir ku dengannya tak akan dan tak pernah akan ku lepas kan peluk kan dan kehangatan itu mak.
Hhuu.. Huuuh..huuu
Suara itu sudah dekat. Orang-orang berada di bibir pantai berlarian.
Ie laot ka di ek. . ie laot ka di ek ( air laut naik, air laut naik)
Seketika mamak menarik ku masuk ke dalam mobil dan mencari tempat yang lebih aman. Mobil itu berlaju namun berhenti separuh jalan. Ku lihat apa yang terjadi, jalan telah penuh dengan orang-orang dan mobil-mobil tanpa pengemudi.
Sesak saat aku harus bercerita ini lagi.
Saat itulah mungkin tuhan berkata sudah cukup disini usaha kalian untuk menyelamatkan diri. Bunyi timpahan air menerpa semua yang ada dihadapannya. Lumpur coklat kehitaman muncul dari bawah rumah di depan ku menghancurkan semua yang ada. Saat itulah aku ditelan air bah kotor itu.
     Nyilu aku menceritakan ini, bayangkan bagaimana rasanya berada didalam air tanpa bernafas. Sangat tersiksa ingin sekali aku menyudahi penderitaan ini.
Tuhan, aku tidak sanggup lagi mati sajalah aku, bagaimana aku bisa bertahan didalam air tanpa bernafas. Sakit.
     Aku saat itu berumur 10 tahun, tuhan masih menyayangi ku. Entah bagaimana kepalaku sudah berada diatas air. Kulihat daerah ini telah menjadi lautan air kotor dan puing-puing. Aku meraih dahan pohon yang besar merangkak diantara puing-puing dan memanjat atap rumah dari satu ke yang lain. Bergantungan diatas pohon . ya Allah begitu parahkah menyelamatkan jiwa yang sia-sia ini?.
Aku tidak tau seberapa jauhnya aku diseret air itu. Sendiri, dingin, kesepian. Tiada seorangpun yang ku kenal saat itu.
Tidak seperti malam biasanya kunang-kunang tidak menampakkan jati dirinya. Hitam pekat langit, sangat gelap.
Bergetar tangan ini begitu dalam hati rindu atas pelukan yang tadi pagi. Aku masih belum sadar bahwa itu adalah akhir dari cerita indah keluargaku.

     Aku tak mau larut dalam kesedihan, tapi aku juga harus menyelesaikan cerita ini karena aku sudah memulainya.
Penyesalan yang belum separuhnya memberikan keikhlasan, andai aku tau hari itu adalah hari terakhir pertemukan, aku ingin ikut dengan mak. Tapi Allah mempunyai rencana indah-Nya, maafkan aku yang begitu memaksa.
Ikhlas itu pasti, tapi kejadian itu merupakan hal yang tidak bisa kulupakan.

Kawan, masih mau kau mendengar ceritaku ini?

Aku akan melanjutkan bagaimana hidup tanpa kedua orang tua dan kaki yang sudah tak benar-benar sempurna lagi.
Langkah ini tertatih untuk masa depan. Hari berganti hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun ke tahun.
Ketika aku merasa ada kegagalan yang kurasakan, kegagalan meraih mimpi, kegagalan dalam hal-hal yang lain. Aku merasa sangat terpuruk. Bodoh.

Saat pertemuan dua puluh enam desember aku baru sadar itu adalah kegagalan-kegagalan kecilku. Kegagalan yang tak seberapa dengan jeritan hati dan airmata ini.
Ini hidupku, jangan menyerah dengan kegagalan, ketika ku jatuh aku akan bangkit. Aku mampu,kuat dalam ini semua. Tekadku bisa.
Sekali lagi aku tak mau larut dalam kesedihan. Belum tau apa maksud yang ingin ku tunjukkan tapi biarkan waktu yang berkisah.

Kawan,
Bantu aku untuk bisa melangkah, jika terjatuh bantu aku untuk bangkit.

Mak, Ayah, saudaraku.
Aku sudah besar sekarang. Insyaallah aku akan selalu mendoakan setiap selesai shalatku untuk kalian. Jangan kalian tanya pada tuhan tentangku ini. Aku selalu merindukan kalian.
Al-fatihah.